OSG888 – Persidangan Terdakwa Anak, Terlalu Sederhanakah?

Ilustrasi

Lihat Foto

Konsekuensinya, dibutuhkan pemahaman spesifik terhadap segala kekhasan dalam dinamika kehidupan anak-anak.

Demikian pula terhadap pelaku pidana yang masih berusia anak-anak. Dari penamaannya saja sudah berbeda.

Pelaku dewasa, pada tahap persidangan, disebut terdakwa. Sedangkan anak-anak yang melakukan pidana dinamai sebagai anak yang berkonflik dengan hukum (ABH).

Tentu, warna eufemistik pada aspek penamaan itu tidak semestinya membuat hakim juga melakukan penyederhanaan cara pikir saat menyidang ABH.

Namun, realitasnya tidak benar-benar sebangun dengan asumsi di atas. Itu tampak, antara lain, pada jumlah hakim dan masa persidangan perkara pidana anak.

Persidangan terhadap terdakwa (dewasa) bisa berlangsung berbulan-bulan. Kontras, ketika yang disidang adalah ABH, ditentukan batas waktu maksimal lima belas hari.

Demikian pula terkait jumlah hakim. Pada persidangan terdakwa (dewasa), hakim berformat majelis (panel) yang terdiri dari satu hakim ketua dan dua hakim anggota. Sedangkan pada persidangan ABH, diberlakukan hakim tunggal.

Cukupkah waktu?

Secara umum, jika disederhanakan, persidangan terhadap terdakwa (dewasa) diselenggarakan dengan asumsi bahwa perbuatan pidana merupakan sepenuhnya produk dari si pelaku. Pertanggungjawaban ditagih ke pelaku bersangkutan.

Persidangan diadakan untuk menentukan hukuman setimpal yang akan dijatuhkan semata-mata kepada terdakwa sekiranya ia divonis bersalah.

Kerangka kerja sedemikian rupa berlandaskan pada filosofi retributive. Filosofi ini dimajaskan sebagai “mata balas mata”, “sakit balas sakit”, bahkan “nyawa balas nyawa”.

Cara pandang seperti itu tidak diterapkan, bahkan terlarang, pada ABH. ‘Larangan’ sedemikian rupa sudah menjadi disclaimer sejak pasal-pasal awal UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Misalnya, UU SPPA mengingatkan seluruh pemangku kepentingan agar menghindari perasaan amarah, apalagi dendam saat menangani ABH.

Ditandaskan, ABH harus tetap dipandang sebagai insan yang memiliki masa depan. Sehingga, menjadi tanggung jawab para pemangku kepentingan, tidak terkecuali instansi-instansi dalam sistem peradilan pidana, untuk tidak mengenakan perlakuan yang merusak prospek ABH menyongsong masa depannya itu.

Sampai pada poin itu saja seketika sudah bisa ditangkap–setidaknya–kesan kompleks yang terkandung pada diri anak-anak yang melakukan pidana.