
Waktu itu, Buyung, sapaan akrab dari legenda advokat Indonesia berambut putih dan bersuara lantang itu merasa tersinggung, karena ada potongan kalimat dalam pertimbangan hakim yang menyebut dirinya “tidak etis”, hingga protes Buyung membuat hakim menghentikan pembacaan putusan.
Saat polisi memasuki ruang sidang, Buyung menghardik polisi agar keluar dengan argumentasi bahwa ruang sidang bukanlah urusan polisi, karena masih di bawah wewenang hakim.
H.R. Darsono akhirnya divonis 10 tahun penjara. Namun, tindakan Buyung membuatnya dilaporkan oleh hakim Soedijono ke Mahkamah Agung atas tuduhan merendahkan martabat lembaga peradilan (contempt of court).
Buyung sempat dijatuhkan putusan administratif oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mencabut izin praktiknya sebagai pengacara.
Sepak terjang Buyung jelas tidak serta-merta dapat disamakan dengan kasus advokat yang begitu menghebohkan publik karena protesnya yang dianggap berlebihan hingga menaiki meja sidang pengadilan.
Tidak hanya diberhentikan oleh organisasinya, kini yang bersangkutan juga dilaporkan ke polisi dengan tiga pasal berlapis, yaitu 335, 207, dan 217 KUHP, tentu dengan mengedepankannya praduga tak bersalah.
Delik merendahkan peradilan
Menurut Black’s Law Dictionary Edisi 9, Contempt of Court (CoC) didefinisikan sebagai tindakan yang menentang wewenang atau martabat pengadilan.
Artinya, menyerang atau mengancam siapapun yang ada di persidangan merupakan perbuatan yang dianggap sebagai ancaman serius terhadap independensi peradilan.
Selanjutnya, Black’s Law juga membedakan antara “civil contempt” sebagai kegagalan menaati perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan hukum suatu pihak dan “criminal contempt”, yaitu suatu tindakan yang merintangi peradilan atau menyerang integritas pengadilan.
Istilah CoC pertama kalinya ditemukan dalam Penjelasan UU Mahkamah Agung, yaitu untuk dapat menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan.
Adapun bentuk umum CoC antara lain: berperilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan, tidak mentaati perintah pengadilan, menyerang integritas dan impartialitas pengadilan, menghalangi jalannya penyelenggaraan pengadilan, dan penghinaan terhadap pengadilan dengan cara publikasi.
Dalam KUHP Lama, CoC memang belum dikriminalisasi secara khusus. Namun perbuatannya tersebar dalam beberapa delik umum yang bergantung pada pemenuhan unsur-unsur tindak pidana secara faktual dan tidak bisa dianalogikan, melainkan dengan jalan penafsiran, misalnya di Pasal 207, 212, 216-218, 223-224, 281, 310, dan 315-316 KUHP.
Sedangkan ketentuan hukum acaranya mengacu pada pasal 218 KUHAP, yaitu: dalam ruang sidang siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.
Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua, dikeluarkan dari ruang sidang, dan pelanggaran tata tertib yang bersifat tindak pidana dapat dilakukan penuntutan.